Minggu, 20 November 2016

Orang-Orang Pengungsian



Aku melihat orang-orang di pengungsian yang berhamburan keluar menuju jalanan sempit yang masih basah. Seseorang lelaki berbadan besar berdiri paling depan, seperti pemimpin bagi mereka. Sebuah truk berukuran sedang, sepertinya membawa makanan, mereka hadang. Hingga hampir terseok, terpuruk ke dalam genangan air. Aku hanya duduk diam di bangku teras halaman pengungsian. Ruhku sudah lama enggan bergerak dengan jiwa, semenjak reruntuhan pasir dan bebatuan dengan deras menghantam punggungku hingga nyaris mati rasa.

“Buka pintunya Pak. Bukaaaaa!!.” Mereka bersorak sambil memukul-mukul badan truk, hingga si supir bingung tidak kuat menahan pergerakan orang-orang pengungsian. Seorang lelaki berpenampilan klimis turun dari kursi sebelah supir. Aku tak tahu persis wajahnya dengan jelas hanya saja bajunya rapi tanpa bekas lipatan sedikitpun dan sepatu licin mengkilap. Tak pantas rasanya dibawa ke daerah pengungsian becek seperti ini.

Si lelaki klimis tersenyum, menampakkan gigi kuning hasil bergumul dengan tembakau. Ia berjalan jumawa – penuh kesombongan dan keangkuhan, membuka pintu belakang truk. Tak paham, jika orang-orang pengungsian sudah hampir tak waras menunggu makanan dibagikan.

“Ayo Pak dibuka. Jangan lama-lama!.” Lelaki berbadan besar tadi menghardik si pria klimis. Tapi ia hanya tersenyum. Pandai sekali bercitra di depan orang banyak.

Sekantong plastik kecil berisi beras, dan dua bungkus mi instan. Orang-orang pengungsian yang melarat itu hanya diberikan ini, dari pemerintah jumawanya. Aku hanya diam menyaksikan Ibu-Ibu sibuk merebus air dalam sebuah panci besar. Sebagian yang lainnya menuangkan bumbu mi ke dalam wadah yang tak kalah besar. Uap nasi sudah mengepul dari tadi, menunggu airnya kering. Seharian mereka menunggu makanan datang, usus-usus mereka hanya dihibur dengan nasi dan mi instan.

Aku tak pandai membantu. Di sini Aku seperti enggan sekali berbicara. Entah siapa yang ingin Aku salahkan.

Anak-anak kecil berlarian di halaman pengungsian. Kaki mereka tertutup oleh tanah basah, menyisakan bekas jejak kaki di setiap tempat yang diinjak. Kaum lelaki murka menyuruh mereka mencuci kaki. Semua orang ingin makan, tetapi lantai sudah terlanjur kotor oleh bocah-bocah berkeliaran.

Piring-piring kertas yang sudah berisi nasi dan mi instan dihidangkan di tengah ruangan. Punyaku tetap ku tenteng di tangan, tak mau bergabung dengan yang lain, serta segelas air putih di dalam gelas plastik. Orang-orang pengungsian makan dengan lahap, dan Aku hanya bagian dari mereka yang tetap terpojok dengan situasi ini. Gigiku lemah sekali untuk mengunyah makanan, menahan air di pelupuk mata. Mereka seperti menikmati bongkahan daging lezat, padahal hanya mi instan yang katanya tidak baik tapi mereka malah memberikan.

Keesokan paginya, anak-anak menggelepar. Merintih menahan sakit perut. Tak sedikit yang berujung muntah hingga berwarna putih, karena isi perutnya sudah terkikis dikeluarkan. Entah informasi dari mana, sekelompok orang-orang yang muncul di televisi datang ke daerah pengungsian. Mereka sibuk menanyai beberapa orang pengungsi lalu merekamnya. Tidak ada yang peduli pada anak-anak yang merasa lapar tidak berdaya. Mereka butuh informasi dan simpati orang seluruh pulau.

Salah seorang dari mereka mendekatiku, lalu mengajak mengobrol. Aku hanya diam tidak mau bicara. Aku takut melihat alat besar yang ditopang di bahu salah seorang yang mengajak mengobrol tadi. Aku tidak mau wajahku dijadikan objek untuk acara mereka.

Hingga siang menjelang, sebuah ambulans memasuki halaman pengungsian. Dengan bidan-bidan yang jutek mereka harus mengadu dengan rintihan kesakitan mereka. Orang-orang sibuk mendengungkan lingkungan yang kotor, tapi mungkin saja beras-beras kemarin yang warnanya sudah tidak putih bersih yang menyebabkannya? Atau dua bungkus mi instan, yang harusnya masuk tempat pembuangan karena sudah tak layak konsumsi. Semua orang di luar sana berasumsi, dan Aku hanya menikmati saja.

Radin, bocah laki-laki berusia 4 tahun meregang nyawa. Radin dehidrasi berat akibat muntah yang tidak henti-hentinya. Ibunya menangis meraung. Kehilangan buah hati satu-satunya. Orang-orang pengungsian tertunduk lesu, prihatin melihat. Bapak Radin menatap anaknya yang sudah memucat, lalu menerawang jauh hingga reruntuhan bukit bekas longsoran. Aku juga tidak kuasa menahan air mata. Jauh sebelum ini, kehilangan memang satu hal yang paling berat.

Seandainya ia tidak dipaksa untuk menjual kebun puluhan hektar di atas bukit untuk villa-villa itu. Ia seharusnya menolak keras lelaki tua bermulut manis yang membuatnya lupa. Lalu Bapaknya Radin menagis sesegukan. Ia menyendiri di belakang tempat pengungsian dari sore tadi setelah pemakaman anaknya.

Tengah malam menjelang pagi Aku masih terjaga. Duduk melamun di pintu pengungsian. Aku melihat Bapaknya Radin menuju kran air di ujung sana. Ia mencuci muka, lalu tangan dan kepala, ohhhh ia berwudhu. Bapak Radin menggelar kain lusuh yang tadi menggantung di lehernya. Rupanya ia hendak shalat mengadu pada Tuhan. Aku hanya melihat dengan ujung mata dari kejauhan. Ingat kalau sudah lama aku tidak melakukannya. Tidak satupun yang tahu Bapaknya Radi berdoa apa. Ia menekuri  alas sujudnya. Lama sekali ia mengangkat tangan tinggi, hingga matanya berlinang basah. Hingga di bawah bukit longsor tempat orang-orang gedung tinggal cahaya api gemerlap. Membara meletup-letup beringas membakar.

Ah.

Sebaiknya, aku tidur. Semoga esok hari saat aku terjaga dan semua permasalahan ini telah usai. Aku berharap esok lusa tak ada lagi orang-orang yang tergiur akan uang semata dan mementinngkan duniawinya. Aku tahu jika mereka berharap dan berusaha, hal-hal indah mungkin menunggu mereka.

Cerpen Duet  : Corina Nafia & Miftahur Rahmi
Cover Cerpen by Corina Nafia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar