Aku melihat
orang-orang di pengungsian yang berhamburan keluar menuju jalanan sempit yang masih basah. Seseorang lelaki berbadan besar berdiri paling depan, seperti pemimpin bagi mereka. Sebuah truk berukuran sedang, sepertinya membawa makanan, mereka hadang. Hingga hampir terseok, terpuruk ke dalam genangan air. Aku hanya duduk diam di bangku teras halaman pengungsian. Ruhku sudah lama enggan bergerak dengan jiwa, semenjak reruntuhan pasir dan bebatuan dengan deras menghantam punggungku hingga nyaris mati rasa.
“Buka pintunya Pak. Bukaaaaa!!.”
Mereka bersorak sambil memukul-mukul badan truk, hingga si supir bingung tidak
kuat menahan pergerakan orang-orang pengungsian. Seorang lelaki berpenampilan
klimis turun dari kursi sebelah supir. Aku tak tahu persis wajahnya dengan
jelas hanya saja bajunya rapi tanpa bekas lipatan sedikitpun dan sepatu licin
mengkilap. Tak pantas rasanya dibawa ke daerah pengungsian becek seperti ini.
Si lelaki klimis tersenyum,
menampakkan gigi kuning hasil bergumul dengan tembakau. Ia berjalan jumawa –
penuh kesombongan dan keangkuhan, membuka pintu belakang truk. Tak paham, jika
orang-orang pengungsian sudah hampir tak waras menunggu makanan dibagikan.
“Ayo Pak dibuka. Jangan
lama-lama!.” Lelaki berbadan besar tadi menghardik si pria klimis. Tapi ia
hanya tersenyum. Pandai sekali bercitra di depan orang banyak.
Sekantong plastik kecil berisi
beras, dan dua bungkus mi instan. Orang-orang pengungsian yang melarat itu
hanya diberikan ini, dari pemerintah jumawanya. Aku hanya diam menyaksikan
Ibu-Ibu sibuk merebus air dalam sebuah panci besar. Sebagian yang lainnya
menuangkan bumbu mi ke dalam wadah yang tak kalah besar. Uap nasi sudah
mengepul dari tadi, menunggu airnya kering. Seharian mereka menunggu makanan datang,
usus-usus mereka hanya dihibur dengan nasi dan mi instan.
Aku tak pandai membantu. Di sini
Aku seperti enggan sekali berbicara. Entah siapa yang ingin Aku salahkan.
Anak-anak kecil berlarian di
halaman pengungsian. Kaki mereka tertutup oleh tanah basah, menyisakan bekas
jejak kaki di setiap tempat yang diinjak. Kaum lelaki murka menyuruh mereka
mencuci kaki. Semua orang ingin makan, tetapi lantai sudah terlanjur kotor oleh
bocah-bocah berkeliaran.
Piring-piring kertas yang sudah
berisi nasi dan mi instan dihidangkan di tengah ruangan. Punyaku tetap ku
tenteng di tangan, tak mau bergabung dengan yang lain, serta segelas air putih
di dalam gelas plastik. Orang-orang pengungsian makan dengan lahap, dan Aku
hanya bagian dari mereka yang tetap terpojok dengan situasi ini. Gigiku lemah
sekali untuk mengunyah makanan, menahan air di pelupuk mata. Mereka seperti
menikmati bongkahan daging lezat, padahal hanya mi instan yang katanya tidak
baik tapi mereka malah memberikan.
Keesokan paginya, anak-anak
menggelepar. Merintih menahan sakit perut. Tak sedikit yang berujung muntah
hingga berwarna putih, karena isi perutnya sudah terkikis dikeluarkan. Entah
informasi dari mana, sekelompok orang-orang yang muncul di televisi datang ke
daerah pengungsian. Mereka sibuk menanyai beberapa orang pengungsi lalu
merekamnya. Tidak ada yang peduli pada anak-anak yang merasa lapar tidak
berdaya. Mereka butuh informasi dan simpati orang seluruh pulau.
Salah seorang dari mereka
mendekatiku, lalu mengajak mengobrol. Aku hanya diam tidak mau bicara. Aku
takut melihat alat besar yang ditopang di bahu salah seorang yang mengajak
mengobrol tadi. Aku tidak mau wajahku dijadikan objek untuk acara mereka.
Hingga siang menjelang, sebuah
ambulans memasuki halaman pengungsian. Dengan bidan-bidan yang jutek mereka
harus mengadu dengan rintihan kesakitan mereka. Orang-orang sibuk mendengungkan
lingkungan yang kotor, tapi mungkin saja beras-beras kemarin yang warnanya sudah
tidak putih bersih yang menyebabkannya? Atau dua bungkus mi instan, yang
harusnya masuk tempat pembuangan karena sudah tak layak konsumsi. Semua orang
di luar sana berasumsi, dan Aku hanya menikmati saja.
Radin, bocah laki-laki berusia 4
tahun meregang nyawa. Radin dehidrasi berat akibat muntah yang tidak
henti-hentinya. Ibunya menangis meraung. Kehilangan buah hati satu-satunya.
Orang-orang pengungsian tertunduk lesu, prihatin melihat. Bapak Radin menatap
anaknya yang sudah memucat, lalu menerawang jauh hingga reruntuhan bukit bekas
longsoran. Aku juga tidak kuasa menahan air mata. Jauh sebelum ini, kehilangan
memang satu hal yang paling berat.
Seandainya ia tidak dipaksa
untuk menjual kebun puluhan hektar di atas bukit untuk villa-villa itu. Ia
seharusnya menolak keras lelaki tua bermulut manis yang membuatnya lupa. Lalu
Bapaknya Radin menagis sesegukan. Ia menyendiri di belakang tempat pengungsian
dari sore tadi setelah pemakaman anaknya.
Tengah malam menjelang pagi Aku
masih terjaga. Duduk melamun di pintu pengungsian. Aku melihat Bapaknya Radin
menuju kran air di ujung sana. Ia mencuci muka, lalu tangan dan kepala, ohhhh ia berwudhu. Bapak Radin menggelar
kain lusuh yang tadi menggantung di lehernya. Rupanya ia hendak shalat mengadu
pada Tuhan. Aku hanya melihat dengan ujung mata dari kejauhan. Ingat kalau
sudah lama aku tidak melakukannya. Tidak satupun yang tahu Bapaknya Radi berdoa
apa. Ia menekuri alas sujudnya. Lama
sekali ia mengangkat tangan tinggi, hingga matanya berlinang basah. Hingga di
bawah bukit longsor tempat orang-orang gedung tinggal cahaya api gemerlap. Membara
meletup-letup beringas membakar.
Ah.
Sebaiknya, aku tidur. Semoga
esok hari saat aku terjaga dan semua permasalahan ini telah usai. Aku berharap
esok lusa tak ada lagi orang-orang yang tergiur akan uang semata dan
mementinngkan duniawinya. Aku tahu jika mereka berharap dan berusaha, hal-hal
indah mungkin menunggu mereka.
Cerpen Duet : Corina Nafia & Miftahur Rahmi
Cover Cerpen by Corina Nafia